Selasa, November 21, 2006

Barusan saya online diwarnet depan rumah untuk membaca beberapa email yang membuat saya berpikir kalau rupanya saya manusia yang agak beruntung. Masi diberkati dengan teman teman yang baik dan perhatian. Dan ternyata (parahnya) pada kenyataannya saya tidak begitu perhatian pada mereka. Malah kebalikan pada teman yang intensitas perhatian saya tertumpah begitu besarnya pada mereka.

Tidak berusaha meminta, hanya berkeluh kesah.

Well, di sebelah saya ada mbak mbak yang sedang telpon. (sengaja)Samar samar saya mendengarkan pembicaraannya. Bukannya saya nguping. Mbaknya yang membiarkan KITA semua ndenger omongannya. Bo’ banter pisan eui.

Mbak mbak itu bercerita (bukan pada saya tentunya) kalau dia bersedih karena ayah nya meninggal. Tapi dia tidak menyesali kematian ayahnya itu. Bahwa dia merasa, kalau hidupnya berubah begitu bertambah berarti setelah ayahnya meninggal. Dia tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup saat ayahnya masih hidup. Dia bilang, “taunya hidup itu indah indah buanget ya? Dan aku baru bisa ngerasainya setelah bapak meningal.”

Perkataan itu membuat saya berpikir. Tabukah yang diucapnya? Bahagia atas kematian ayahnya? Bagian dari keluarganya? Mari bermanin mungkin. Mungkin ayahnya tiran, rigid, tidak membiarkan anaknya menyesap kehdupan yang begitu manis. Mungkin ayahnya takut anaknya terjerumus kehidupan bebas yang tidak lagi ada bagus bagusnya. Mungkn ayahnya tidak ingin anaknya melesat begitu jauh dari tatanan nilai moralitas dan kepercayaan keluhuran dalem. Ach citt. However we put it, buat saya personally, semua itu hanya bullcrap. Hanya excuse dari kehidupan menyebalkan yang terkadang tidak memberi semua yang kita inginkan. Salahkan saja pada si ini sit u si anu. Bahagia saja saat si ini si itu si anu tereliminasi dari kehidupan. Sehingga tidak ada lagi yang namanya hambatan. Tidak ada lagi yang namanya batu sandungan.

Membuat kembali berpikir. Kita itu egois dengan hanya mengatakan bahwa tujuan kita tidak tercapai karena suatu dan lain hal diluar kemampuan kita.

Saya mempersalahkan orang lain untuk pola makan adik saya pola hidupnya yang tidak sehat. Saya itu egois untuk mempersalahkan orang lain untuk tidak selesainya tugas tugas merapikan tempat tidur dan lupa membayar kartu kredit papa. Tapi kenapa saya tidak berani mempersalahkan diri saya? Egois kan artinya?

Mungkin juga tamparan yang keras dipipi untuk bude saya untuk mempersalahkan saya untuk begitu banyak hal sepele yang pada akhirnya bahkan tidak menciptakan kesalahan (saya terzolimi begitu seringnya sama bude saya selama menemani adek saya di rumah sakit )-(tapi tetap berhasil menghukum saya tanpa ampun dengan memisahkan saya dengan bibik saya selagi mama papa adek kchina)

Dan mungkin juga gebukkan yang begitu keras untuk diri saya sendiri untuk begitu sering menggerutu dan mengumpat akan ketidakadilan hidup saya yang baru 18 tahun ini. Toh saya terlalu coward untuk berani mempersalahkan diri saya. Tidak cukup dekat dengan Tuhan, tidak cukup sadar akan kemampuan fisik, dan ketidaksadaran akan posisi sehingga menyebabkan disposisi peran dalam hidup.

Why don’t we just live our life the way we are. Not according what others want us to, or what other suggested us to (walopun g ada salahnya juga mendengarkan beberapa nasihat yang berarti). Just live it as is there’s no tomorrow and NO ONE to blame for. But remember that there’s GOD watching and reminding,He’s there waiting for us. Jadi usahain untuk bisa membawa diri kita kembali ke Tuhan dalam keadaan sebaik mungkin (dengan takaran kebaikan menurut kita tentunya-bukan orang lain)

Seperti kaya Winnifred di film tuck everlasting, “do not fear of death, but be afraid of living in emptiness” . dengan terus mengunggu mempersalahkan kesalahan kesalahan, keburukan keburukan, dan kekecewaan kekecewaan kita pada SEMUA hal selain diri kita sendiri adalah sama dengan menaruh RUH kita dalam toples kedap udara. Apa artinya hidup kalu sudah begitu.

Dan selalu ingat untuk memaafkan diri kita sendiri. Karena dengan begitu, tiap kali kita melangkah akan terasa seeeedikit lebih ringan. Percaya akan kekuatan pengampunan. Dan yang paling penting, pada Tuhan. Yang melihat kebawah dan menunggu kedatangan kita disisinya.

“bapa kami yang ada disurga dimuliakanlah namamu, datanglah kerajaanmu, diatas bumi seperti didalam surga“

Oyah, happy lebaran semuanya. Terimakasi atas pengampunan yang akan kalian berikan (mudah2an).


ditulis satu hari setelah perayaan idul fitri

Tidak ada komentar: