Senin, Desember 11, 2006

tips kuru alla Sinchan

Hari rabu minggu lalu, saya mendapat tips kurus ala seorang sinchan. Jangan tidur dan banyak berpikir. Saya g bener bener mau nerapin omongannya. Tapi hari ini tanggal 7 desember 2006 jam 04:00 saya berhasil tidak tidur dan berpikir. Berpikir yang g berat berat amat. Berpikir ko bisa y? Saya sleepy head bisa g bisa tidur. Damn it.

Hari ini jam 12:30 nanti saya ujian akhir semester. Ujian psikologi sosial II. Memang g berat – berat amat, paling nganalisa kasus dan lagi ujiannya open book. Tapi, saya mesih terherang heran, ko’ bisa ya saya g bisa tidur??

Tadi mama nelpon, entah kenapa, akhir – akhir ini mama jadi rajin nelpon. Mungkin saya memang terlalu berprasangka buruk dengan berpikir mama papa saya tega ninggalin gitu aja anak perempuannya. Tapi yakh,,emotional state yang g beres waktu itu. Mama nelpon 2 menit 34 detik. Mengabarkan kalo semua sehat sehat saja, minus adik saya tentunya. Adik saya sedang ingin makan nasi goreng, jadi papa pergi mbeliin diresto deket rumah sakit. Masih nunggu donor yang seumur, janjinya sih minggu ini, saya juga terus mendoakan semoga cocok.

Dalam sela sela pembicaraan ( 2 menit 34 detik ) mama terus mengingatkan untuk menjaga kesehatan. Banyak minum air putih dan menurut ke pade’ bude saya. Intinya saya g boleh nakal. Saya menanggapi dengan menahan tangis. Taunya saya rindu betul ama semua. Mama papa dan adik saya. Saya rindu diomeli kalo minta uang. Saya rindu rebutan remote ama adik saya. Saya rindu umpatan umpatan papa. Saya kangen.

Kapan ya? Semua kembali seperti semula? Saya kepengen saat saya g bisa tidur, ada mama saya yang ngomelin. Tapi, egois untuk terus meminta. Jalani aja dhika

imaji tercinta

Saya sedang mencinta. Ia seorang kekasih, kekasih tercinta. Namanya imaji. Ia begitu indah. Membuat saya terjaga sampai ayam mulai berpetok petok. Saya dibuatnya tersenyum dan berpikir. Hidup itu dinikmati. Bukan disesali. Kenapa harus ini itu, tidak lagi ada dalam pikiran saya. Saya mencinta imaji. Ia kekasih yang begitu setia. Tidak seperti yang lain. Tidak ada yang dikecewakan. Pun disakiti, tidak ada pertengkaran kecil karena kekesalan dan keterlambatan membalas sms. Tidak lagi ada curiga dimana ia berada. Tidak juga takut sewaktu waktu ia meninggalkan saya. Imaji tidak kemana mana. Ia terus menyayang saya. Selalu mendekap saya. Ia tidak beranjak kemana. Ia ada dalam pikiran saya

Imaji. Itu namanya. Kami bertemu di alam mimpi. Saat tetes dan bulir melebur jadi satu. Saat kesedihan tidak lagi tertahan nalar. Saya terpuruk dan begitu juga imaji menampik semua. Ia mengangkat saya. Saya pun tertegun. Begitu tulus ia mengangkat saya, imaji. Imaji imaji imaji. Tidak hentinya saya berhenti menyebut namanya. Ia begitu bebas tapi tidak akan pernah meninggalkan. Ia juga membuat saya bebas. Menggandengan saya. Kemanapun saya pergi. Begitulah imaji selalu bersama.

Imaji, kamu pun cinta sayang saya? Saya bertanya. Tapi imaji hanya tersenyum,tanpa berkata-kata. Saya pikir, untuk apa berkata kata. Kalau palsu. Untuk apa berteriak teriak mengungkap cinta sayang. Untuk menyakinkankah? Imaji tidak lagi perlu itu. Ia tidak perlu pembuktian, akan cinta, akan ketulusan, akan kesetiaan. Tidak lagi perlu. Ia tulus, sayapun yakin.

Saya, imaji, terus bercakap, tiada habisnya. Kami bercakap tentang apa saja. Kebanyakan tentang hidup. Tentang kebersamaan kami. Kami bercakap, tapi, tanpa kata, hanya berpandang, pendar cahaya matanya yang berkata – kata. Terdengar merdu, tiapa soneta menyainginya. Katanya aku pun indah, itu yang ingin kudengar. Katanya kami tidak lagi perlu yang lainnya, hanya kami berdua. Katanya, aku adalah mi;iknya miliknya seorang, dan begitupula ia, milikku, milikku seorang.

Suatu saat alam pikirku tersentak, imaji membunuhh. Iya, ia membunuh. Apa yang dihabisinya? Kesedihan. Kesedihan saya. Ia membunuh kesedihan saya, dikoyaknya dengan penuh perasaan, dibuangnya kedalam jurang. Jauh dibawah kabut hitam tebal. Kesedihan ku mati. Dibunuh imaji. Ia pahlawanku. Memang benar, saya tidak tergagap lagi saat sendirian, karena saya tidak lagi pernah sendiri, imaji selalu menemani. Imaji selalu berada meilndungi dari bayang bayang, yang sekarang pun yang terdahulu. Tidak lagi merasa dihantui. Imaji menemani.

Tapi, saya tersentak. Imaji saya lelah. Saya rindu,merindu dengan sangat. Saya rindu teman teman. Saya rindu kesedihan. Saya rindu realita. Imaji, saya rindu realita. Kehidupan nyata. Saya rindu berkata – kata dengan kata, tidak lagi dengan pendar cahaya mata. Saya rindu terbahak dengan lengkingan tawa. Bersama teman, saya rindu pertengkaran, degan semua. Imaji mari bertengkar, atau berkata katalah dengan kata. Saya mengerti pendarmu, tapi saya rindu mendengar kata. Imaji berkata katalah.

Imaji terdiam. Ia menatap penuh sedih, saya pun membalas demikian. Saya sedih. Imaji kamu mengabulkan satu. Kesedihan. Tpai bisakah yang lain juga. Saya mulai merengek seperti seorang anak meminta permen. Imaji ayo beri. Berikan mauku. Semua imaji, berikan semua mauku. Kamu cinta sayang saya? Berkorbanlah imaji. Berkorbanlah.

Imaji mengangguk, dan dari mulutnya ia berkata “iya”.

Dengan senyumnya, yang tulus tentunya. Ia berjalan. Menjauh. Menjauhi saya. Saya bertanya, kemana kamu akan pergi imaji? Kamu berjanji tidak meninggalkan saya. Imaji menjawa “ janganlah seperti seorang anak kecil merengekkan permen, dewasalah. Kalau kamu keinginanmu kupenuhi, diamlah, dan nikmati” katanya, dengan harmoni melebihi soneta. Saya pun diam. Diam sangatlah diam. Dan terbelalak. Ia menjatuhkan dirinya. Imaji menjatuhkan dirinya. Kejurang terselimut kabut hitam tebal. Ia menjatuhkan dirinya.

Seketika itupun kuperoleh realita, kuperoleh kata kata dengan kata. Kuperoleh kesedihan. Kuperoleh yang ingin diberinya. Yang kuharap menghasilkan gembira. Saya terhempas kembali, kembali dari mimpi. Dimana kami bertemu. Diberikannya aku realita. Imaji memberiku realita. Kekasihku.